Mozaik dan Lukisan Rindu

karya : Ria Dyan Rahayu

Lentera itu menyala redup. Mungkin karena tertiup angin atau minyaknya yang sudah habis. Udara dingin terasa menusuk meski hari belumlah gelap. Ayah berjalan pelan keluar dari kamarnya. Ia masih mengenakan sarung dan peci kesukaannya. Ia kemudian menghampiriku, duduk tepat di sebelahku yang sedang membuat sketsa. Hal ini menjadi pekerjaanku setiap hari sehabis pulang sekolah. Pekerjaan ini aku pakai untuk mengurangi beban finansial Ayah dan Bunda.
“Wita,” ucap Ayah. Suaranya agak berat.
“Iya, Yah?”
“Sudah shalat?”
“Sudah, Yah.”
“Kenapa nggak tidur kalau gitu?”
“Iya, Yah pasti Wita nanti tidur kok. Ayah sendiri kenapa belum tidur? Bunda sudah tidur emangnya?”
“Ya udah. Ayah masih nunggu Bunda tuh lagi nyuci.”
“Oh..” jawabku sambil merapikan beberapa kertas yang sudah jadi.
“Jangan memaksa diri ya, Wit. Biar ndak sakit.”
“Iya Ayah bawel. Ini Wita mau tidur kok.”
“Ya udah, selamat tidur. Ayah mau nyusul Bunda ya.”
“Iya Yah, semangat!! Heheheh...”

***
Pukul dua pagi Ayah tampaknya sudah terbangun untuk menyiapkan bahan-bahan dagangan, sementara aku masih terbaring di atas ranjang. Ayah pasti tengah memotong sayuran, memasak air, mengolah daging untuk dijadikan bakso dan membersihkan gerobak. Ingin aku bangun membantu, akan tetapi rasa malas terus mendorongku untuk tidur kembali. Tetapi terbesit jam weker di pikiranku. Kucoba ambil jam weker di samping tempat tidurku dengan nyawa yang masih setengah terkumpul, ku lirik jarum jam yang terus bergerak di setiap detik detak jantung dan hidupku. Tampak jarum jam sudah ada di angka kursi lebih lima belas. Aku langsung bangkit dan lari terbirit-birit menuju kamar mandi.
Kulihat cuaca di luar. Ternyata hujan turun deras. Aku takut mendengar suara air hujan yang jatuh berjatuhan ke atap seng rumah. Aroma khas tanah basah, membuat bulu kudukku merinding. Menambah suasana di pagi hari ini menjadi syahdu dan aku masih mendengar suara tangan Ayah masih meracik bumbu di dapur. Tampaknya Ayah tidak pernah takut hujan. Ia selalu bekerja walau keadaan hujan deras sepanjang hari, bahkan ia senang jika setiap hari turun hujan. Tandanya bakso yang dijual akan laris, akan banyak orang beli ketika hujan. Bagi Ayah, hujan adalah penyelamat. Aku ingin seperti Ayah yang pemberani. Namun, aku terlalu lemah untuk meniru segala perilaku Ayah, seorang pekerja keras.
Masih terdengar Ayah yang masih bekerja di belakang saat aku hendak selesai merapikan seragam sekolahku. Kulirik Ayah dari balik tirai penghubung ruang tv dan dapur, Ayah terlihat letih tapi semangatnya masih berkobar dalam dirinya. Aku sampai tak enak hati jika aku membalikkan badan dan meninggalkannya. Akhirnya kuputuskan untuk membantunya sebentar. Ku ambil sebelah pisau tajam dari gantungan yang terletak di bawah lemari kecil di atas kepalaku. Ku potong kulit berwarna hijau segar dengan hati-hati. Kemudian ku iris tipis seperti sobekan kertas. Kulihat bahan-bahan yang masih menumpuk yang belum terhandle. Terbesit niatku bertambah untuk mencuci mangkuk-mangkuk di sudut wastafel sebelah Ayah. Namun, tiba-tiba tangan Bunda mengais tanganku dan menyuruhku untuk siap-siap pergi ke sekolah. Ku ambil tas dan memakai sepatu kesayanganku, kemudian mencium tangan Bunda dan Ayah.

Sesampainya di sekolah, Cerby menghampiriku.
“Haloo... anak haram,” ledek Cerby dengan gampangnya.
            “Jaga bicaramu, Cer!” bentakku keras.
            “Hahahah... Masih mau membantah, semua orang tahu kali, Wit kalo Ibumu tidak menikah.”  masih dengan mulut pedasnya.
            “Cerby !!! sudah aku katakan berulang kali. Aku bukan anak haram. Kalau kamu cemburu melihatku dekat dengan dengan Petra, jangan bawa-bawa pernikahan orang tuaku. Apa kamu tidak ada kegiatan lain hah sehingga hanya menggangu hidupku saja,” Aku menantangnya dengan penuh amarah.
            “Siapa yang cemburu? Petra kelak akan tau rahasia keluargamu,” balas Cerby lalu beranjak pergi dengan wajah angkuhnya.
            Dasar cewek gila! Jika bukan di area sekolah, aku mungkin sudah menamparnya dengan keras. Penggosip muda nomor satu itu harusnya diberikan pelajaran yang setimpal dengan perbuatannya yang bikin satu sekolah ramai di setiap minggunya. Awas saja! lain kali akan kubalas lebih kejam dari ini, dendamku dalam hati.
            Aku memang terlihat bodoh di depan anaknya, apa yang bisa aku lakukan bisa-bisa membodohiku sendiri. Jelas-jelas, dia yang bodoh. Dia nggak tau apa-apa masalah keluargaku. Aku bukanlah anak haram, aku sudah ada sejak Bunda dan Ayahku sudah menikah 2 tahun. Anak haram? Itu tidak mungkin. Cerby saja  yang mengada-ada.  Pikirku dalam diam.
            “Sudahlah jangan kau hiraukan ucapan nenek sihir itu, tak pentinglah kau pikir omongannya. Semua orang tahu kok dia itu trouble maker sekolah ini,” hibur Beta yang melihatku masih mematung di depan kelas. Wajahnya yang tak berleher membuatku ketawa setiap kali melihatnya. Hiburannya tak pernah gatot pikirku. Selalu berhasil padahal cara dia bicara biasa saja.
Aku menarik nafas panjang berusaha mengusir kemarahan dalam hati dan pikiranku. Ini bukan yang pertama kalinya dia datang dan berbicara yang tidak-tidak tentang aku apalagi dengan sebutan anak haram.  Setiap kali bermasalahan dengannya, Bunda selalu menenangkan aku agar tidak sampai hati membenci anak gila itu.
“Hai sayang, kenapa muka kayak kue busuk gitu?” sapa Petra, kekasihku yang dulunya adalah salah satu sahabat laki-lakiku. Di lebih muda dari aku, tapi pemikirannya sudah dewasa daripada aku. Dia selalu mengajariku pelajaran kimia dan fisika. Aku akui dia memang pandai dalam berhitung. Setiap ulangannya dia selalu mendapat nilai diatas rata-rata. Dia selalu tahu setiap aku diam tanpa jelas. Tebakannya selalu benar dan tepat.
“Woy, ditanyain nggak dijawab, dijawab nggak di tanyain. Ada apa si? Si Cerby cari gara-gara lagi ya sayang?” tanyanya lagi dan kali ini mengejutkanku.
“Eh.. sayang ada apa? Iya gara-gara siapa lagi, cewek yang selalu ngejar-ngejar kamu dari kelas 10 itu. Emang ada yang lain?” ejekku.
“Ehm.. iya tau. Tapi kan aku jatuhnya ke kamu bukan ke anak itu. Iya kan? Udah deh, sekarang jangan mikir itu anak, makan yuk ke kantin?” ajaknya dengan menggandeng tanganku.
“Eh.. tunggu-tunggu. Masak aku di tinggal. Aku juga mau kali di ajak makan. PETRA TUNGGU!!! WITAA!!!” teriak Beta yang ternyata masih ada di belakangku dari tadi.
***
Bulan lalu, Bunda  berjanji akan membawaku ke suatu tempat yang membuat Bunda selalu menjatuhkan air matanya karena mengingat masa lalunya. Ingatanku masih panas tentang hal itu. Aku penasaran tentang suatu tempat yang dimaksud Bunda. Pikiranku menerawang jauh. Pelan namun pasti, waktu menyebabkan pandanganku pada anak itu muncul kembali. Rentetan kalimat bernada tidak baik seolah melimbungkan pendirianku. Ternyata masih ada rasa sakit yang bisa begitu saja kuenyahkan. Sungguh kesal ini serupa jarum yang mengiyak sanubariku. Kucoba bersikap bijak mengikuti pola pikirku sebagai wanita yang sebentar lagi bertambah umurnya. Tapi, entahlah, aku masih belum bisa menerima perlakuannya yang tiada hari menjadi-jadi. Pertama, aku dibilang anak luzer, kedua, aku dibilang anak muna, dan terakhir mungkin ke sebelas kalinya aku dibilang anak haram. Dasar cewek gila, seperti nggak ada kegiatan lain di hidupnya sehingga kerjaannya hanya mengusik hidupku terus. Suara Bunda membuyarkan lamunanku tentang anak itu.
“Wit, minggu besok kamu nggak ada acara kan, Nak?” tanya Bunda seraya membereskan buku pelajaranku yang terlihat kocar-kacir di samping tempatku berbaring.
Aku pun langsung memeluk Bunda dengan erat dan menghadiahkan ciuman singkat di pipi dan sentuhan dikit di dahinya. Aku menyadari, waktuku untuk bersamanya berkurang semenjak aku duduk dibangku SMA. Pulang sore setiap hari Senin sampai Kamis, lalu hari jumat yang tersita waktu ektrakulikuler begitu juga hari sabtu yang sering aku gunakan kerja kelompok atau sebatas hangout bersama teman-temanku. Di tambah lagi tugas menumpuk yang sering aku kerjakan di dalam kamar semalam suntuk. Seminggu ku habiskan hanya untuk diriku sendiri, waktu bersama Bunda pun di malam hari sebelum aku tidur juga ikut berkurang. Kadang aku yang menghampiri Bunda dan mengecup pipi dan dahi lalu lekas pergi ke kamar untuk tidur. Tapi sekarang tidak sama sekali bahkan tidak menghiraukan apa yang sedang Bunda lakukan saat-saat ini.
“Bunda, ada apa Bun? Wita minggu besok ndak ada kegiatan apa – apa kok Bund, memang Bunda mau ngajak Wita kemana sihh....?” tanyaku lembut yang masih dalam keadaan memeluknya seraya membelai helai rambut indahnya yang masih terlihat hitam di usianya yang sudah mau masuk kepala 5 ini.
“Ehm... apa nggak apa kalau Bunda ngajak kamu ke suatu tempat yang pernah Bunda janjikan satu bulan silam sama kamu. Wita ingat kan, sayang?” tanyanya seraya mendongakan kepalanya.
“Oh Bunda... Wita masih ingat Bunda janji seperti itu. Justrunya Wita yang nagih. Haha... biar Bunda nggak capek-capek ngajak Wita kayak gini,” jawabku dengan ketawa ringan.
“Aduhh.. anak Bunda sekarang sudah besar ya. Sudah berani ngomong kayak gitu ke Bunda, ya?” tanya Bunda tengil kepadaku.
“Ahh.. Bunda ini. Ya iya Wita sudah besar, masak anak Bunda ini kecil terus sih.. Ya maaf Bun, kan tadi cuman bercanda. Terus kita berangkatnya mau jam berapa Bun?”
“Ya deh, Bunda maafin.  Gimana kalau jam 8 pagi aja, nak?”
“Ya udah deh Bun, sama Ayah juga?”
“Nggak nak, cuman kita berdua aja.”
“Oh.. gitu jadi Bunda pinginnya quality time an aja sama aku. Ya deh... mumpung Wita juga lagi kangen Bunda nih... “ godaku sambil mengecup bibir Bunda yang tipis itu.
“Ihhh.. nakal ya anak Bunda yang paling cantik ini. Awas ya !!” teriak Bunda sambil mengejarku dari belakang.
Kami berdua pun terlibat kejar-kejaran seperti tom and jerry yang tiap pukul 9 pagi sudah muncul di layar tv yang kerjaannya kejar-kejaran. Ayah yang lihat pun, ikut mengejar dan mencoba menangkapku. Kami bertigapun akhirnya terlibat keributan di dalam rumah. 

Keeseokan harinya,
 “Ayo, Bunda. Cepat. Sudah jam setengah delapan nih. Wita tunggu di mobil ya Bun. Ayah, Wita duluan di depan ya,” teriakku pada Bunda yang masih di dapur menyiapkan sarapan buat Ayah di rumah. Ayah yang tahu rencana Bunda dan aku, Ayahpun menganggukkan kepala dengan masih berpakaian piyama di ruang tv.
“Papa, Bunda pergi dulu ya. Itu sudah Bunda masakin oseng-oseng kangkung. Pokoknya enak deh buat Papa di rumah. Jaga rumah ya Pa,” jelas Bunda panjang lebar sambil mencium tangan Ayah.
“Iya, Bunda sayang. Terima kasih banyak ya. Hati-hati di jalan nanti,” perhatian Ayah yang ndak kalah lewat.
“Iya.. pasti. Ya sudah, Bunda ke depan. Wita sudah nunggu lama tuh, Pa. Semoga semuanya lancar ya, Pa.”
“Amin, semoga saja Bun, tapi aku yakin Wita pasti terima semua cerita dari kamu,”
“Iya... semoga saja, Pa.”
            Di jalan, Aku sengaja setel lagu Arman Maulana sangat keras. Aku lirik Bunda, benar kutebak, Bunda seperti terlihat termenung tetapi terlihat sedang asyik dengarin lagu Arman Maulana, salah satu lagu kesukaannya. Katanya si, suara Arman Maulana mengingatnya dengan sosok yang selalu di simpan di lubuk hatinya paling dalam sampai sekarang. Tapi entah siapa? aku sampai sekarang nggak tahu siapa yang masih dijaga rapat oleh Bundaku.
“Bunda, ini kita kemana tujuannya? Bunda belum kasih tau ke Wita kemana?” tanyaku sengaja membuyarkan lamunannya.
“Bentar lagi nyampek kok, nak. Itu disana ada gang kecil masuk. Kamu parkir di depan mobil hitam itu saja ya Wit. Nanti biar kita jalan kaki saja ke arah gang nya. Oke..” jelas Bunda yang ternyata masih sadar sampai di mana.
“Oh gitu Bun. Ya udah bentar lagi berarti kita turun ya Bun,” jelasku lembut tapi menahan tawa melihat Bunda ternyata masih bisa menjawab pertanyaanku.
“Iya,iya nak bentar lagi,” jawab Bunda yang sepertinya tampak gugup.
Sesudah memarkir mobil, akhirnya Aku dan Bunda jalan kaki menuju gang yang dimaksud Bunda.  Sesudah melewati gang, tampaknya Aku mendahului Bunda karena aku berlari begitu lihat taman indah dengan rumput hijau segar menyejukkan. Bunda menyadari jika Aku mendahuluinya, namun tampaknya Bunda tidak terlihat marah malah Bunda jalan begitu santainya tampak asik dengan suasana yang masih panas tapi menyehatkan ini.
“Bunda, Ayo cepat!! Jadi tempat yang dimaksud Bunda itu ini Bun,” teriakku.
“Iya... asik kan,” jawab Bunda tak kalah suaranya denganku.
Suara teriakannya terdengar berbarengan dengan hembusan angin yang menciptakan suara keriut-gesekan logam tua berkarat memaksaku menghampiri Bunda dan meminta sebotol air minum untukku. Dan Bunda memberiku tapi tidak dengan melihatku. Arah pandangnya menuju ke arah lain. Bunda melihat fokus ke arah ayunan itu. Aku bingung Bunda begitu berkaca-kaca melihat ayunan tua fajar itu.
“Ayunan itu ternyata masih ada di sana,” gumam Bunda tapi terdengar sayup-sayup di gendang telingaku. Aku mendekati Bunda dan melihat air mata di balik kedua bola mata Bunda yang coklat itu memenuhi seluruh ruang dan sudut mata dari Bunda. Akhirnya aku memeluk dan mengelus punggung dan rambutnya.
“Bunda? Bunda kenapa nangis? Wita buat salah sama Bunda? Wita minta maaf ya Bun,” tanyaku, tapi Bunda tak menjawab. Air matanya semakin kuat mengalir di permukaan pipinya yang halus itu.
***
“Ayun lebih tinggi, sayang!” teriakku sambil tertawa karena rasa geli yang menggelitik perutku bersamaan dengan ayunan yang terus membumbung tinggi.
“Apa ini masih kurang tinggi sayangku?” tanya Gabry dengan nada khas lembutnya tapi sedikit melenting meningkahi suara deru angin yang menyambar telingaku.
“Lagi... Ayo. Lagi sayangku. Ini masih kurang tinggi! Ayun lagi!”
Tiba-tiba Gabry mengehentikan ayunanku. Aku terkejut. Baru saja aku hendak membuka mulutku untuk protes, dia sudah menarik tubuhku dan membawa tubuhku ke dalam pelukannya yang hangat dan nyaman.
“Kelak, apa pun yang terjadi dalam hidupmu. Teruslah berayun. Tegarlah menatap langit. Terjanglah angin yang menghalangi. Jika ada asap maka lawanlah. Pupuklah selalu harapan dan gantungkanlah impianmu setinggi kamu naik ayunan ini. Jangan sekali-kali tengok ke bawah. Jangan khawatir kamu jatuh, aku selalu ada di bawah untuk menangkapmu. Percayalah, selalu akan ada jalan buat kamu meraih impian yang tidak kamu bayangkan sebsar apa nantinya.”
***
“Ya ampun, Bunda. Bunda kenapa nangis?” tanyaku masih dalam keadaan tadi. Dan kali ini sepertinya Bunda sudah sedikit mereda lamunannya.
“Kenapa memandangi ayunan itu?” tanyaku lagi dengan penasaran.
“Bunda sering diayun orang yang Bunda sangat cintai dulu bahkan sampai sekarang Bunda masih menyimpan rasa ini, nak,” bisiknya di telingaku. Suaranya begitu terdengar parau di telingaku. Seperti ada kenangan Bunda yang begitu dalam menyeruak di dalam hatinya.
“Dulu, saat Bunda masih seumuran denganmu. Bunda pernah berpacaran,” tambahnya. Suaranya begitu berat tapi dipaksakan.
“Wah... Bunda pernah pacaran ternyata?” ledek ku meringankan suasana hening pikirku.
“Iya, nak. Bunda dulu pernah pacaran satu kali seumur hidup Bunda. Tapi Bunda bukan pacaran sama Ayah.”
“Apa Bunda? Terus Bunda pacarannya sama siapa?” Aku langsung terkejut mendengar apa yang barusan Bunda ucapkan.
“Bunda pacaran sama Ayah kamu, Wit,” jelas Bunda seperti ketakutan.
“Ayah? Maksud Bunda? Bunda bercanda kan? Bunda jangan aneh-aneh, ini masih pagi Bun,” tanyaku bertubi-tubi. Aku benar-benar penasaran, apa yang Bunda ucapkan barusan.
“Iya, seorang Ayah, dengarkan cerita Bunda dulu, baru kamu tanya lagi ya.”
“Baiklah, Wita dengarkan disini,” jelasku sambil mencari tempat yang menurutku nyaman. Aku duduk tepat di hadapan Bunda.
“Sewaktu Bunda mengandung kamu sembilan bulan, Ayah kamu pergi mengambil barang di Sumatra. Sembilan hari kemudian, Ayah kamu kembali tapi di tengah perjalanan terjadi kecelakaan besar yang menyebabkan pembuluh darah di kepalanya pecah dan beberapa ingatannya hilang. Ayah kamu mengalami luka yang sangat serius sampai koma 2 hari. Setelah koma, Ayah kamu pernah berpesan ke sahabatnya yang sekarang adalah Ayah kamu untuk menikahi Ibu karena firasat Ayah mengatakan bahwa tubuhnya tidak akan baik. Akhirnya Bunda dan sahabatnya itu menikah langsung hari itu juga. Bunda kecewa dan sedih tapi Bunda harus menuruti apa kata suami Bunda yaitu apa kata Ayah kamu waktu itu. Tak lama selang 1 hari kondisi Ayah memang semakin buruk, keadaannya semakin seperti orang gila. Dokter menyatakan psikisnya sudah di bawah stabil dan memutuskan untuk memindahkannya ke rumah sakit jiwa. Ayah kamu itu suka sekali dengan melukis sama sepertimu. Dia sama sekali nggak lupa dengan alat lukisnya. Alat lukisnya selalu dibawa oleh Ayahmu. Terakhir Ibu melihatnya 2 bulan yang lalu. Dan tetap dalam kondisi yang sama, melukis kita berdua, nak. Dia masih ingat Bunda tapi kita tidak saling bicara. Bunda sedih bila mengingat masa-masa indah bersamanya tapi Bunda tegar karena Bunda ada kamu dan sahabat Ayah yang selalu membuat Bunda menjadi kuat. Ada banyak tangisan dan tawa sepanjang hidup Bunda yang Bunda lalui bersama Ayahmu. Itulah sebabnya Bunda mengajak kamu ke sini. Ayah kamu yang sebenarnya ada di rumah sakit jiwa bukan di rumah kita. Tapi Bunda minta kamu untuk tetap bersikap sewajarnya ke Ayah walaupun kamu sudah tahu kalau itu bukan Ayah kamu. Maafkan Bunda jika Bunda menyembunyikan ini semua dan baru menceritakannya sekarang sama kamu,” jelasnya sambil menahan isak tangis dalam dadanya.
“Bunda, apa itu semua benar-benar nyata? Wita nggak yakin, Bun. Bunda jahat sama Wita. Wita nggak percaya lagi sama Bunda. Ayah Wita ya cuman Ayah Reno, bukan yang lain. Dan jika benar ayah bukan ayah kandung Wita, Wita tetep nggak percaya. Ayah kandung Wita nggak mungkin gila. Wita nggak mungkin punya Ayah yang gila. Itu nggak mungkin kan Bun. Bunda bilang iya Bun, Wita benar-benar kecewa sama Bunda,” amarahku tanpa jelas seraya memukul sesuatu tak jelas di depanku. Air mataku entah tak terbendung lagi. Semakin deras seperti hujan deras membocorkan genteng rumah yang rusak. Bagaikan hati remuk meninggalkan luka dan retak di setiap sudut relung hati. Bunda menatapku sendu, tak berani mereda amarah dalam diriku. Aku semakin memukul diriku sendiri tanpa melihat Bunda yang entah tak berucap di sampingku.
“Bunda masih belum kuat untuk menceritakannya, nak. Maafkan Bunda untuk itu. Maafkan Bunda, sayangku,” jelasnya dengan lembut, mencoba memberanikan diri sambil mencoba menghapus air mata yang terus jatuh dan memenuhi segala sudut pipiku. Tapi usahanya tak mencapai hasil maksimal karena aku terus menangkis tangannya. Ucapan maaf terus keluar dari bibir tipisnya itu.
“Ihk-ihk-ihk,” masih dalam tangisku. Dan Bunda masih dalam usahanya.
“Oh anakku, hentikan, jangan sakiti dirimu. Bunda yang salah, sekali lagi maafkan Bunda, sayang.”
Nggak Bun, itu nggak mungkin terjadi,” bantahku masih terngiang dalam waktu yang terus berjalan.
“Oh tidak-tidak, ini jangan diteruskan, baiklah kamu tunggu sebentar disini,” perintahnya dan terlihat meninggalkanku, pergi ke suatu arah. Entah kemana, aku tidak bisa melihatnya. Aku masih duduk menunduk di depan ayunan itu dengan air mata yang masih terus semakin deras.
“Ini, minum ini pasti membuat air matamu iri hati nantinya. Ayo sayang, jangan buat Bunda takut dan sedih. Tak apa jika kau masih membenci Bunda. Nggak papa sayang. Tapi, minumlah ini. Bunda khawatir. Bunda akan kasih kamu waktu. Bunda yakin kamu bisa mengendalikan emosimu ini. Kau tau sayang, minuman ini yang selalu Ayah berikan ketika Bunda menangis karena hal yang sepele,” rayu Bunda dengan lembutnya. Ku lirik minuman yang diberikan Bunda, perkataan Bunda ada benarnya pikirku. Setidaknya aku tidak membuat Bunda khawatir. Sejenak ku ambil minuman itu dan langsung meneguknya.
Aku masih menunduk dalam diam tapi tangan Bunda terus membelai rambut panjangku, Bunda mencoba mengajakku untuk bermain ayunan untuk menghibur luka lama. Aku hendak menolaknya, tapi entah perasaan ibaku datang. Perasaanku sekarang sudah sedikit lega. Pikiranku sudah sedikit tenang. Ku terima ajakan Bunda untuk bermain. Tersirat kerinduan dalam mata bunda, aku melihat dan merasakannya. Hatiku jadi ikut bergetar saat melihat senyum Bunda yang begitu keluar merekah dari dalam hatinya yang dalam,  bermain di atas ayunan tua ini, bernostalgia dalam waktu yang hanya sekejap mata ini. Kami berdua menghabiskan waktu dengan diam seribu kata, hanya tindakan yang tampak di permukaan saat ini pikirku.
Pukul 9.15 pun Bunda dan aku pulang, kami kembali jalan kaki lagi menuju ke parkiran mobil baru kemudian bisa naik mobil.
Sesampainya di rumah, aku melihat Ayah sedang menyiram halaman belakang. Memang hari ini Ayah nggak kerja dulu karena kondisi badannya yang sakit. Serasa ada yang berbeda saat aku melihatnya. Tapi aku harus bersikap sewajarnya seperti apa yang dimaksud Bunda padaku tadi di ayunan.
“Eh, anak Ayah sudah pulang. Gimana tadi cerita dari Bunda? Maaf ya kalau Ayah selama ini juga menyembunyikannya,” kata Ayah.
“Ayah ngomong apa si, enggak papa kali Yah. Ayah juga Ayah Wita kok,” sapaku pada Ayah, mencoba bersikap sewajarnya.
“Ehm.. anak Ayah sudah besar sekarang pemikirannya. Makasih ya nak.”
“Iya Ayah, justru yang bilang makasih itu aku. Makasih Ayah, Ayah sudah ngejaga aku semenjak aku kecil sampai sekarang.”
“Iya sama-sama,” jawab Ayah seraya memelukku. Ternyata Bunda juga memelukku diantara Ayah. Aku masih malas menatap Bunda saat ini, meski aku sempat bersikap baik di depannya.
“Nanti sore Bunda antarkan kamu ke Ayah kamu ya.”
Wajahku langsung berubah ketika mendengar ajakan Bunda, seperti membakar hati yang nyata sudah terbakar dari awal. Bunda langsung melepaskan pelukannya saat tahu raut muka yang kupancarkan beberapa detik yang lalu dan memintaku duduk. Ayah yang melihat ada perubahan diantara Aku dan Bunda, langsung meninggalkan kami berdua di halaman belakang.
“Aku tidak mau bertemu orang itu,” jawabku lemas seolah mengerti kalimat yang akan keluar dari mulut Bunda, aku tau apa yang dimaksud Bunda, Ayah yang gila, pikirku.
Bunda tertawa kecil mendengar jawabanku, lalu mengacak rambutku.
“Dia tidak sejahat yang kamu pikirkan,” bujuk Bunda.
“Aku tetap tidak mau, Bun,” balasku.
Bunda menghela napas dan menarik tanganku.
“Ikut Bunda dulu yuk sekarang! Bunda mau kasih lihat kamu sesuatu yang luar biasa. Pasti kamu senang,” ajaknya bersemangat seraya menampilkan senyum termanisnya.
“Hmm?” aku mengikuti Bunda dengan malasnya.
Aku lirik, terlihat Bunda mengambil sebuah gulungan yang terdiri dari beberapa buah lukisan usang dan membukanya. Tampak gambar diriku berdua dengan Bunda dalam sebuah sketsa yang sangat indah.
“Ini lukisan milik Ayahmu,” ucap Bunda.
“Ayahmu menyayangi kita, nak,” terang Bunda seraya menghilangkan debu yang menutupi lukisan indah itu.
“Aku tidak mau dia hadir dalam kehidupan kita,” teriakku asal sambil membuang gulungan itu. Ada perasaan aneh saat aku membuangnya, entah perasaan apa yang tiba-tiba keluar dari dalam hatiku ini.
Bunda terdiam tampak kecewa padaku, ada semburat kekesalan di balik wajahnya seperti menahan amarah. Diambilnya gulungan lukisan usang itu dan memeluknya kemudian menciumnya, walau kotor dan usang. Aku buru-buru memeluk dan mencium kedua tangannya seraya meminta maaf karena telah mengucapkan kalimat-kalimat kasar.
“Bunda, maafkan Wita,” ucapku. Kulihat Bunda meletakkan lukisan usang itu di samping tempatku berdiri, kemudian menarik tanganku dan memelukku. Wajahnya yang cantik terlihat sendu seolah menyimpan beban yang sangat berat. Aku sama sekali tidak mengerti kepada Bunda yang menyembunyikan ini. Aku hanya bisa menghela nafas panjang.
“Sayang, justru Bunda yang minta maaf. Bunda tidak akan memaksa, tapi Bunda mohon sama kamu, berikan kesempatan untuk Ayahmu yang hanya sebatas kemampuannya. Bunda ingin kamu bertemu dengannya satu kali saja. Bunda yakin, dia sangat merindukanmu,” pinta Bunda lembut seraya menepuk-nepuk pundakku.
***
Aku memilih kemeja biru ditambah celana jeans hitam, sedangkan Ayah terlihat sangat tampan dengan kemeja putih ditambah jaket berwarna coklat dan celana pendek bercorak kotak-kotak, ciri khas yang sering dipakai Ayah jika ke luar kota dan Bunda yang terlihat sangat cantik dengan dress berwarna biru tua dipadukan kerudung kuning muda yang begitu modis dan natural. Wajahnya tampak bersinar ceria saat aku mengiyakan permintaannya untuk bertemu dengan Ayah. Entahlah! Binar cinta masih terlihat jelas tiap kali aku mendengar Bunda bercerita tentang kisah cintanya diantara Ayah. Bunda selalu ketawa tiap kali bercerita tentang dirinya.
Bunda tidak peduli dengan cibiran, tatapan sinis bahkan berita miring yang menyebutnya selingkuhan atau bahkan yang lebih parah sebutan cewek murahan yang pernah ada dalam hidupnya. Bunda hanya berusaha sekuat mungkin membesarkan hatinya untuk menerima semua kenyataan pahit yang pernah dia alami. Bunda berusaha membesarkanku dengan segenap cinta dan hati nuraninya yang tulus serta kemampuannya yang hanya sebatas tukang penjahit.
“Bunda dan Ayah, cantik dan ganteng banget hari ini,” pujiku.
“Hari ini kan ulang tahunmu, jadi Bunda harus terlihat cantik dong,” ucap Bunda sambil menunjukkan barisan gigi putihnya yang terlihat rapi.
“Ayah juga dong, nak. Masak Bunda cantik tapi Ayah jelek. Nggak dong,” tambah celoteh dari Ayah yang nggak kalah hebat.
Hari ini kami akan bertemu dengan pria yang tidak pernah hadir selama tujuh belas tahun di hidupku. Meski segalanya hampa, namun tak bisa dipungkiri jika jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Entahlah, aku seolah merasakan ada sesuatu yang akan terjadi saat bertemu dengannya. Aku berusaha untuk menutupi kegelisahan itu dari Bunda. Aku tidak ingin membuatnya bersedih dengan memasang wajahku yang penuh ketakutan dan rasa benci yang masih ada dalam hatiku. Bunda selalu mengandengku saat kami tiba di rumah sakit. Ayah yang melihatku sedikit ketakutan memintaku untuk berdoa dan bersikap tenang, ia hanya mengantarkan aku dan Bunda sampai di depan, selanjutnya hanya aku dan Bunda.
Melewati ruangan demi ruangan aku melihat berbagai wajah dan perilaku orang yang aneh bahkan menyerikan. Di sudut sebuah kamar tampak seorang anak kecil dengan rambut panjang kusutnya sedang menggendong sebuah boneka yang menurutku sangat menyeramkan sambil bersenandung. Bunda menarikku perlahan untuk terus berjalan lebih cepat menuju sebuah kamar yang terletak di sudut. Ruangan itu sedikit lebih hening daripada yang lain. Kulihat Bunda membuka pintu dan menghampiri seorang pria yang tengah sibuk dengan cat dan kanvas. Tampak dari belakang tubuhnya yang kokoh. Kulitnya putih seperti kulitku dengan pakaian yang bersih dan rapi. Bunda melepaskan genggaman tanganku dan menepuk pundak pria itu dengan lembut.
“Mas, ini Wita. Anakmu sudah datang,” tegur Bunda pelan.
Jantungku kian berdetak cepat. Pria itu membalikkan tubuhnya dan menatap wajahku. Sepertinya dia merespon apa kata Bunda. Tatapannya kosong seperti mayat hidup meski wajah tampannya masih terlihat jelas. Kugeser tubuh untuk lebih merapat pada Bunda. Tiba-tiba saja ketakutan menghantuiku. Bunda menggenggam erat tanganku untuk memberi ketenangan.
Pria itu terus menatapku tanpa berkedip. Tiba-tiba ia mengambil sebuah lukisan yang sudah rapi dan diberikan pada Bunda. Tampak gambar diriku lagi yang sedang tersenyum.
“Sejak kamu kecil, Bunda selalu mengirimkan fotomu padanya, Bunda ingin dia selalu mengingatmu sebagai putrinya,” terang Bunda.
Aku mengambil lukisan dari tangan Bunda dan menatapnya dengan hati bergetar. Aku tidak menyangka selama belasan tahun Ayah berkutat dengan pribadi labilnya hingga membuatnya tidak bisa hidup normal. Aku makin terharu mengetahui Ayah yang hanya mengikuti perjalanan hidupku melalui foto yang dikirim Bunda.
“Wita,” panggil Ayah pelan sambil tersenyum.
Subhanallah, Ayah yang ada di depanku sekarang memanggilku. Hatiku berdesir kencang mendengar suara lembutnya. Suara itu penuh arti yang dalam seolah sarat kerinduan. Wajah datarnya melukiskan secarik senyum penuh kebahagiaan. Bunda menatapku dengan mata berair. Tampak Ayahku yang lain dari kejauhan juga menatapku dengan mata berair. Aku tidak bisa mengucapkan kalimat apapun selain terus memandangnya.
“Ya, Ayah, Wita datang!” ucapku memberanikan diri menyentuh tangannya. Tiba-tiba saja perasaan haru menyelimuti jiwa. Melihat Ayah yang begitu lemah tapi tetap masih berusaha keras untuk bertahan hidup dengan semangatnya, membuatku ingin berusaha keras menuntut ilmu dan meneruskan usaha sketsaku. Tidak ada hari yang lebih indah selain saat ini. Penantian panjang penuh dengan luka dan air mata membuat kami menyadari hanya cinta dan kasih sayang yang bisa menyatukan segalanya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Wawancara tentang "Ibadah Haji"

Cara Cepat Mencari Temperatur (suhu) dan Cara Mudah Menghafalnya

Qygo lan Byrox